OPINI:
Pembagian Kondom pada PSK di Hari AIDS Sedunia:
Terkesan Melegalkan Prostitusi
Beberapa catatan peringatan hari AIDS sedunia yang jatuh tanggal 1 Desember selalu saja di peringati dengan pembagian kondom. Tak ketinggalan Indonesia menjadi ikutan latah dengan cara peringatan yang demikian. Terlebih lagi, pembagian kondom dikhususkan bagi para PSK, ratusan ribu kondom disebar di lokalisasi dan dibagikan poster dengan kata-kata “use kondom” hal ini menjadikan Hari AIDS sedunia seakan melegalkan prostitusi.
Lihat saja, di Ibukota kita, Jakarta tidak hanya sekedar pembagian kondom, melainkan diadakan Pekan Kondom Nasional. Dilaksanakan oleh komisi Penanggulanagan AIDS (KPA). Acara tersebut diusung dengan tema “Gunakan Kondom dan Selamatkan Banyak Jiwa”. Padahal sesungguhnya oleh menteri kesehatan sedunia sejak tahun 2008-2010 mengangkat tema, "Hentikan AIDS, Jaga Janjinya", dengan sebuah sub-tema yang berbeda tiap tahunnya. Tema payung ini dirancang untuk mendorong para pemimpin politik untuk memegang komitmen mereka guna menghasilkan akses sedunia kepada pencegahan penyakit HIV/AIDS pada tahun 2010.
Akan tetapi, justru peringatan hari AIDS sedunia dilewati dalam bentuk-bentuk peringatan pembagian kondom seakan PSK diperhatikan dan lelaki hidung belang bebas “jajan sembarangan”. Menanggapi peringatan hari AIDS dengan pembagian kondom merupakan penyimpangan dan memberikan pemahaman yang salah terhadap solusi pemberantasan HIV/AIDS. Oleh karena dengan pembagian kondom praktek free sex justru semakin bertambah subur dan lokalisasi seakan dilegalkan. Selain itu, pembagian kondom dirasa kurang efektif, melihat konotasi bahwa HIV/AIDS adalah melulu penyakit akibat hubungan seksual harus diperbaharui lagi karena penyakit ini adalah penyakit sel darah. (anz)
OPINI:
Anak Kecil Tahu, Masa Depan Hancur
Seks kini sudah tidak tabu lagi di dengar. Bahkan terdengar kabar akan ada pendidikan seks usia dini.
Tidak disangkal lagi sebagian remaja sudah melakukannya. Bukan tidak mungkin kalau suatu hari nanti remaja akan menganggap berhubungan seks adalah bagian dari kesehariannya.
Banyak hal yang membuat seks yang dulunya tabu menjadi suatu hal yang wajar. Salah satunya adalah semakin besarnya konsumsi masyarakat terhadap hal-hal yang berbau pornografi. Dari tidak tahu menjadi tahu sampai akhirnya kebelet untuk melakukannya.
Di sisi lain kadang-kadang televisi swasta yang tidak sengaja menyensor adegan-adegan porno. Kini bahkan ada film kartun yang beredar termasuk dalam kategori porno.
Jadi, tidak heran kalau anak kecil di bawah umur sudah tahu pelukan mesra, ciuman, dan hubungan seksual. Ironisnya, mereka menganggap hal itu sudah biasa. Jika anak kecil saja sudah terjerumus ke hal negatif, bagaimana masa depan Indonesia? (dsi)
ARtikel:
Pornografi Muncul, Moral Luntur
Seorang pemuda sedang asyik menatap layar laptop. Tiba-tiba dia berkata, “Waow,,ck,,ck,,ck”, apa sih yang sedang ditontonnya? Ternyata adegan hot yang begitu menarik perhatian.
Suasana ini sering dilakukan oleh beberapa kalangan remaja. Jika sebagian masyarakat biasa melakukan ini, apakah menunjukan bahwa mulai luntur oleh maraknya kemunculan pornografi?
Pornografi memang sangat berpengaruh dengan perkembangan agama. Lewat kekuatannya pornografi mampu menurunkan moral masyarakat, ditambah lagi melunturkan budaya yang telah dijaga hingga sekarang ini. Ini tidak bisa lepas dari budaya hedonistis (suatu budaya yang mementingkan kenikmatan). Contohnya saja remaja putrid di Bali khususnya yang beragama Hindu, sekarang ini menggunakan kamen tinggi-tinggi hingga mencapai lutut dan kebaya tipis yang bisa mengundang reaksi para lelaki. Tujuan utama mendekatkan diri kepada Tuhan pun terabaikan.
Akan tetapi, bukan itu saja penyebabnya. Dalam situasi global , semua orang dapat dengan cepat dan mudah mengakses segala hal yang berbau pornografi. Misalkan saja video porno, situs porno, majalah porno, dan masih banyal lagi.
Dengan bermunculan hal-hal yang berbau pornografi , diusahakan agar kita sebagai remaja mempertebal iman. Diharapkan agar orangtua menanamkan ajaran agama dan santapan rohani sejak dini. Kalau begitu walaupun pornografi merajalela, bukan berarti kita bisa meninggalkan ajaran agama. (dsi).
Feature:
Siapa sangka wanita paruh baya berusia 50 tahun yang sedang menyapu halaman rumahnya itu dulu kembang desa. Warningsih tidak secantik dulu, kulitnya yang dulu kuning langsat kini menghitam, rambutnya yang hitam dan lembut kini memutih dan kusut, wajahnya yang mulus kini meninggalkan garis keriput. Warni dan
anaknya memiliki persamaan yakni, sama-sama tidak perawan, tidak pula janda (Efa).
Feature:
Tidak Perawan, Tidak Pula Janda
Penampilannya sama sekali tidak mengesankan bahwa ia dulunya seorang kembang desa. Berambut hitam panjang digulung dengan karet gelang, nampak berantakan seperti belum disisir. Baju yang dikenakan daster berwarna ungu tua polos dengan sedikit lubang di bagian pundak belakang. Memakai sandal jepit hijau bermerk ‘swallow’. Sembari mengusap kening, ia menyapu halaman rumahnya dengan sapu lidi pagi hari.
‘Gundil’, julukan warga desa untuknya. Nama aslinya ialah Warningsih, bagi yang masih menghormatinya, ia dipanggil ‘Yuk Warni’. Hidupnya dulu penuh warna-warni bak pelangi. Kebahagiaan, kebebasan, kenikmatan, seakan selalu ia rasakan. Penampilannya yang modis era ’80-an membuat para pria di desanya segan dan tertarik. Tak ada perawan menawan selain Warningsih. Hingga suatu hari keperawanan yang ia jaga dilawan oleh lelaki tak ia ketahui. Kehidupan ‘Yuk Warni’ luluh lantak, orangtuanya meninggalkan Warni urbanisasi ke luar kota. Ia hidup sebatangkara, lelaki hidung belang tak bertanggung jawab itu entah kemana.
Sunandri, anak Warni buah hasil malam pertama tanpa pernikahan resmi. Sunandri kini merantau ke luar Pulau Jawa, Pulau Kalimantan tempat yang ia tuju untuk mencari nafkah. Nafkah yang tidak halal, profesi sebagai kupu-kupu malam ia incar. Nandri sapaan akrabnya hanya pulang setahun sekali untuk mengunjungi Sang Bunda.
“Gundil, awakmu gak tau adhus? Ambune ga kober” (dalam bahasa Jawa yang artinya: “Gundil, kamuga pernah mandi? Baunya tidak tahan”) kata Pak Mukri tetangganya. Sebagian warga ada yang senang mencemoohnya ‘jorok’, ‘bau’, ‘jijik’, karena memang ‘Gundil’ jarang mandi. Badan, pakaian bahkan rumahnya pun tak terurus dengan baik. Rumah gubuk yang terletak di sudut desa dengan kondisi reyot, penuh sarang laba-laba, dan tikus menjadi tempat kediaman Warni. Ia merasa nyaman tinggal di sana walau terkadang rasa sepi menghampiri.
Beruntung, tetangga di desanya masih ada yang menerima ia sebagai penduduk Desa Kalisemut RT 05/RW 13, Kecamatan Padang, Kabupaten Lumajang. Jika Idul Fitri tiba, maka ia selalu mendapat zakat fitrah terbanyak di kampungnya. Banyak yang menganggap ia kaum dhuafa dan layak mendapat hak zakat tersebut. Profesinya kini menjadi pembantu rumah tangga dari satu rumah ke rumah yang lain.

